Pagatan : Sejarah Kota Pahlawan



Pagatan dikenal sebagai daerah tertua di Kabupaten Tanah Bumbu karena memiliki garis historis cukup panjang dalam perjalanan dan catatan sejarah. Berbagai macam peristiwa dan dinamika telah mewarnai sejarahnya yang panjang tersebut, termasuk cerita asal mula munculnya nama Pagatan dan kemudian berkembang menjadi kawasan yang didominasi oleh komunitas Bugis. Setidaknya, dari berbagai sumber yang ada, dijelaskan beberapa pendapat berkenaan dengan asal penamaan serta makna dari Pagatan.

Berdasarkan penelitian Tim Peneliti Balai Arkeologi Banjarmasin memperlihatkan bahwa tinggalan arkeologis berupa bekas-bekas permukiman dan kegiatan ekonomi seperti perdagangan di Pagatan pada masa lalu terkonsentrasi di sebelah Selatan muara Sungai Kusan, yang kini disebut sebagai Pasar Lama yang sekaligus menjadi pusat pelabuhan. Menurut Tim Peneliti pula, bahwa di kawasan Pagatan dulu, dalam konteks ekonomi memiliki jenjang pusat perekonomian menurut jaringan sungai, yaitu pusat utama terdapat di dekat muara di pinggir pantai, yaitu Kota Pagatan dan di daerah hulu terdapat tingkat dua, yaitu daerah Kusan. Sampai sekarang, peninggalan bekas istana Kerajaan Pagatan masih ada dan disimpan dengan baik. Tata letak kerajaan ini adalah, di sebelah Barat bekas istana terdapat kompleks permakaman; di sebelah Utara kompleks makam dulunya terdapat bangunan masjid (sekarang sudah tidak ada lagi), kemudian di sebelah Barat Laut dari makam terdapat pelabuhan dan pasar (sekarang menjadi Pasar Lama).1 Hasil penelitian ini membuktikan bahwa Pagatan Tanah Bumbu merupakan bekas wilayah dari Kerajaan Pagatan. Sebab, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bekas wilayah Kerajaan Pagatan adalah di Pagatan-Besar Kecamatan Takisung Kabupaten Tanah Laut. Namun, pendapat ini terbantahkan karena di Pagatan-Besar (Kabupaten Tanah Laut) yang kebetulan nama daerahnya sama dengan Pagatan (Kabupaten Tanah Bumbu) tidak ditemukan bukti-bukti atau peninggalan arkeologis yang menunjukkan sebagai wilayah bekas sebuah kerajaan.

Menurut catatan sejarah, berdasarkan isi Lontara yang ditulis oleh Kapitan La Mattone (seorang Menteri Kerajaan Pagatan; cucu dari Puanna Dekke, pendiri Kerajaan Pagatan) pada tanggal 2 Jumadil Awwal 1285 H/21 Agustus 1868 M, sebelum berkembang menjadi daerah permukiman yang ramai, Pagatan merupakan sebuah wilayah kecil yang terdiri dari hutan belantara dan hutan rotan. Atas restu dan izin dari Sultan Banjar, yakni Penembahan Batu atau Pangeran Nata Dilaga atau Sultan Tahmidullah (1761- 1801 M), maka saudagar Bugis Wajo, bernama Puanna Dekke kemudian membuka perkampungan baru bersama dengan anak buahnya. Restu dan izin yang diberikan oleh Sultan Banjar ini menjadi suatu kehormatan sekaligus pendorong bagi Puanna Dekke dan anak buahnya dalam membuka dan membangun permukiman baru, sampai akhirnya menjadi sebuah kampung yang diberi nama Kampung Pagatan (asal kata dari tempat pamagatan). Kampung Pagatan dalam pengaturan Puanna Dekke kemudian berkembang sebagai salah satu kawasan dan bandar yang sangat strategis, karenanya letaknya yang diapit oleh Laut Jawa dan dibelah oleh Sungai Kukusan (Sungai Kusan), sehingga cepat mengalami kemajuan dan menjadi salah satu pelabuhan sungai yang penting di wilayah Kerajaan Banjar. Tidak mengherankan apabila kolonial Belanda dan Jepang berusaha dengan keras untuk mengusai Pagatan sebagai maskotnya wilayah Kalimantan bagian Tenggara pada waktu itu.


Menurut Andi Satria Jaya yang merupakan generasi ke-12 dari Arung Kerajaan Pagatan yang pertama, La Pangewa (bergelar Kapiten Laut Pulo), asal muasal nama Pagatan bukanlah berasal dari kata pagat, memagat, atau pemagatan dalam Bahasa Banjar, tetapi nama Pagatan sebenarnya berasal dari sebuat alat untuk menakar padi atau beras yang disebut gantang. Gantang yang dibawa Puanna Dekke ketika mula pertama datang dan membuka daerah Pagatan digunakan sebagai tempat untuk menyimpan sekaligus menakar duit (koin) yang dia punya sebagai seorang pedagang hartawan untuk menunjukkan kekayaannya. Padahal, biasanya gantang hanya digunakan untuk menakar padi atau beras. Konon, Duit dalam gantang itulah yang menjadi modal dan biaya Puanna Dekke dalam membuka dan membangun wilayah Pagatan yang semula terdiri dari hutan dan semak belukar. Sebagaimana isi percakapan antara Puanna Dekke dengan Sultan Banjar ketika meminta izin untuk bermukim di daerah ini. “…Puanna Dekke kemudian berlayar menuju Banjarmasin untuk menemui Sultan Banjar (Panembahan Batu), disampaikanlah maksudnya untuk memohon izin bermukim di Pagatan. Maka berkatalah Penembahan: “Baiklah kalau anda sanggup mengeluarkan biaya, karena daerah tersebut adalah hutan belantara dan lagi merupakan pangkalan tempat persinggahan para perompak (bajak laut). Puanna Dekke menjawab: ”Bagaimana sekiranya nanti kami telah mengeluarkan biaya”?. Berkatalah pula Penembahan: ”Kalau anda telah mengeluarkan biaya sehingga daerah tersebut berkembang menjadi kampung, maka anda wariskanlah kepada anak cucu anda, tidak ada yang dapat mengganggu-gugat”.

Dari alat menakar atau gantang ini pulalah kemudian muncul nama atau istilah pagantang atau pagantangan (maksudnya gantang duit Puanna Dekke) yang kemudian berubah sebutan menjadi Pagatan. Sampai sekarang, gantang dimaksud yang terbuat dari kayu masih ada dan disimpan oleh Andi Santria jaya.

Berikutnya, menurut sumber yang lain, secara maknawi, Pagatan menurut sebagian tokoh dianggap mengandung “kesialan”, seperti yang terdeskripsi dari berbagai peristiwa di masa awal pembentukan Kabupaten Tanah Bumbu. Pada masa awal pembentukan dan penataan wilayah kabupaten, di mana Tanah Bumbu masih merupakan bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Kotabaru, Pagatan pernah dan ditetapkan menjadi ibukota Kawedanan Tanah Bumbu Selatan. 

Penetapan Pagatan sebagai ibukota dari Kawedanan Tanah Bumbu Selatan berteruskan sampai terbitnya SK Gubernur Kalimantan Selatan No. 41/1-3-205-1012 tanggal 3 November 1967 yang menyetujui aspirasi masyarakat untuk pemekaran wilayah kabupaten guna menunjang dan mempercepat proses pembangunan, sehingga dibangunlah Kantor Persiapan Kabupaten Tanah Bumbu Selatan di Pagatan. Proses pembentukan Kabupaten Tanah Bumbu yang berdiri sendiri yang dimulai sejak tahun 1959 baru terwujud pada tahun 2003, seiring dengan diresmikannya pembentukan Kabupaten Tanah Bumbu sebagai kabupaten baru yang berdiri sendiri oleh Menteri Dalam Negeri (Hari Sabarno) pada tanggal 8 April 2003 berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003. Namun kemudian, bukan Pagatan yang ditetapkan sebagai ibukota kabupaten, melainkan Batulicin.

Begitu pula dengan peristiwa penting lainnya, pemerintah pernah merencanakan untuk membangun rumah sakit besar di Pagatan, tetapi akhirnya dialihkan ke Kabupaten Tanah Laut; pelabuhan penyeberangan kapal feri Batulicin-Tanjung Serdang (Kotabaru) yang sangat ramai, dulunya direncanakan dibangun di Pagatan tetapi tidak jadi; hasil survey Pertamina untuk eksplorasi gas bumi di pantai Pagatan bekerjasama dengan Australia yang digadang-gadang sangat besar potensinya juga gagal eksplorasi setelah dilakukan survey secara intensif, belum lagi sejumlah musibah besar, seperti kebakaran Pasar Pagatan (September 2006), banjir yang memutus akses jalan propinsi di Pagatan (Juni 2006), dan sebagainya.

Menyoroti berbagai hal tersebut di atas, Ilham Djafrie (Ketua Panitia Penuntut Kabupaten Tanah Bumbu) dalam makalahnya yang diseminarkan pada 14 April 2001 pernah berkomentar, bahwa makna dari Pagatan sepertinya memang mengandung “kesialan”. Menurutnya, di antara banyak faktor penyebab dari kegagalan proses pembentukan Kabupaten Tanah Bumbu Selatan pada tahun 1971 (padahal telah diusahakan sejak tahun 1959) salah satunya adalah makna dari kata Pagatan yang dianggap tidak cocok. Pagatan yang berasal dari kata dasar pagat artinya putus, sehingga Pagatan berkonotasi selalu putus atau gagal terus. Secara metafisik, huruf dari kata Pagatan sendiri bernilai 13, yang menurut perhitungan tradisional merupakan “angka sial” dan mengandung pengertian tidak bagus, seperti sesawi di banyu (sawi yang selalu hanyut terbawa arus air sungai); telaga kering (sumur yang tidak ada airnya ketika musim kemarau); dan perupuk kamandahan (seperti ilalang kering yang terbakar habis). Karenanya, dia menyarankan agar nama Pagatan diganti dengan nama yang mengandung arti lebih baik.

Pada masa kepemimpinan dr. H. M. Zairullah Azhar, M.Sc. (Bupati Tanah Bumbu Periode 2005-2010), Tanah Pangeran sempat menjadi salah satu alternatif pengganti nama Pagatan. Hal ini merujuk pada penjelasan Lontara Bugis Pagatan berkenaan dengan sejarah Kerajaan Pagatan yang menyatakan, bahwa di samping disebut Pagatan, kawasan di pesisir pantai ini dinamakan pula dengan Tanah Pangeran. Namun kemudian, tidak berlanjut dan hingga sekarang nama Pagatan masih dipakai sebagai nama dari ibukota Kecamatan Kusan Hilir. 

Posting Komentar untuk "Pagatan : Sejarah Kota Pahlawan"