Suku Jawa khususnya memiliki nilai keagamaan dan simbolik yang tinggi. Terlihat dari perilaku kegiatan keagaan yang dimasukan dalam kegiatan tradisi masyarakat, yang di dalamnya terdapat makna tersendiri. Namun tetap dalam ajaran agama Islam. Karena pedoman agama sudah menjadi satu-satunya jalan yang benar, apalagi menetapkan simbol sebagai tanda tentang makna tersebut.[1] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tradisi adalah kebiasaan yang turun temurun diberikan kepada generasi selanjutnya secara turun temurun dari nenek moyang dan masih dilestarikan oleh masyarakat secara berkesinambungan, seperti budaya, kebiasaan, adat bahkan agama. Van Reusen dalam jurnal Ainur Rofiq berpendapat bahwa tradisi adalah pewarisan atau pusaka atau aturan, atau properti, aturan, adat dan norma. Namun tradisi ini bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah, melainkan dipandang sebagai integrasi dari hasil perilaku manusia dan juga merupakan pola kehidupan manusia secara umum.[2] Pelaksanaannya sebagai berikut: Setelah selesai ibadah sholat magrib berjamaah, dimulai membaca tahlil, yasin, setelah itu berdoa bersama , ceramah singkat mengenai ramadhan, dilanjutkan makan bersama dan sholat isya berjamaah.
Kata punggahan diambil dari bahasa Jawa yaitu “munggah” atau “punggah” yang berarti naik. Bisa dibayangkan bahwa “punggahan” berarti menaikkan atau menaikkan bulan ramadhan yang akan datang. Punggahan merupakan tradisi yang dilakukan setahun sekali menjelang bulan suci ramadhan (puasa).[3] Punggahan berarti naik, menaikan bulan ramadhan. Masyarakat mendoakan arwah leluhur bertujuan agar diampuni dan diangkat ke surga.[4]
Perlunya pemahaman mengenai berbagai arti adalah agar tidak salah memahami makna dari sesuatu.[5] Khususnya pendidikan Islam, karena penurunan atau kemunduran suatu bangsa terdapat pada kualitas pendidikan yang ada pada negara tersebut. Pendidikan agama, itu diharapkan masyarakat bisa memiliki kepribadian yang baik.
Kegiatan punggahan yang dilakukan sebagai ungkapan kegembiraan dan rasa syukur atas bulan yang penuh rahmat dan berkah, yang tidak dilarang sama sekali karena kegiatan ini tidak dilarang mengandung maksiat, perpecahan dan berlebihan dalam rasa kenikmatan . Punghan merupakan ungkapan rasa syukur atas nikmat Allah SWT. dalam Q.S. Yunus/10:58:
قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ
Bagi orang Jawa bulan Sya’ban ini diberi nama dengan bulan Ruwah. Kata Ruwah berasal dari kata ngeluru yang berarti mencari dan arwah yang berarti arwah, berarti dapat di artikan mencari arwah atau mengunjungi arwah. punggahan pada bulan Sya’ban ini bertujuan untuk mengunjungi arwah melalui do’a yang dibacakan melalui leluhur yang telah tiada.
Data yang disajikan merupakan hasil observasi, wawancara dari narasumber di Desa Batu Meranti Kecamatan Sungai Loban Kabupaten Tanah Bumbu.
a. Sejarah tradisi punggahan
Tradisi yang awal mulanya di ambil dari kebiasaan orang Yaman yang mendo’akan nabi Syu’aib yang kemudian dibawa ke Indonesia khususnya orang Jawa sebagai bulan mengirimkan doa kepada arwah.
“Tradisi yang sudah sejak lama dilakukan oleh orang luar negeri dari Yaman dan ada hubungannya dengan bulan sya’ban. Karena ada Habib Indonesia yang keturunan Yaman, dan di Yaman ada tradisi ketika bulan Sya’ban itu mereka mendo’akan Nabi Syu’aib yang meninggal di bulan Sya’ban, sehingga umat pada masanya mendoakan sebagai bentuk kemulyaan. Kemudian tradisi itu di sebutkan oleh orang Yaman yang sampai ke Indonesia, ini adalah mendo’akan arwah. Maka ketika orang nusantara yang mengikuti acara itu, mengatakan ini waktunya mengirim do’a ke arwah. Orang jawa mengatakan arwah itu ruwah maka bulan sya’ban disebut bulan ruwah. Mengikuti Habib-habib yang ada di Yaman, walaupun mereka di sana itu mendo’akan nabi Syu’aib, tapi masyarakat nusantara, pokok ada orang sudah meninggal walaupun bukan di bulan sya’ban mendoakan dibulan itu”.[1]
Punggahan hanya ada dibulan sya’ban menuju ramadhan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Desa Batu Meranti.
“Punggahan berasal dari kata munggah (naik) dari bulan satu ke bulan berikutnya. Kenapa hanya bulan sya’ban menuju ramadhan saja karena dibulan sya’ban ini akan naik ke bulan mulia. Dimana ini mengingatkan kepada kita untuk menaikan rasa syukur, kesiapan kita untuk ibadah di bulan ramdhan. Maksudnya bulan ramadhan itu perlu disambut dengan iman yang lebih meningkat (munggah). Punggahan bertujuan untuk umat Islam, bahwa ramadhan akan segera tiba, dan mendoakan umat-umat Islam yang sudah meninggal dunia. Punggahan biasanya dilaksankan di rumah-rumah, masjid/mushola”[2]
Punggahan adalah sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat desa Batu Meranti Kecamatan Sungai Loban Kabupaten Tanah Bumbu karena sudah ditemukan kembali dengan bulan ramadhan dan mendo’akan arwah-arwah orang yang sudah meninggal. Terkait alasan kelestarian tradisi punggahan di Desa Batu Meranti di zaman modern saat ini, Syaiful selaku pemuda desa menjelaskan dalam wawancaranya sebagai berikut:
“yang pertama karena orang-orang tua terdahulu masih ada. Mereka yang selalu mengingatkan masyarakat yang lain agar terus melaksanakan tradisi punggahan ini. Selain itu juga tradisi ini memiliki dampak yang sangat bagus yaitu mengumpulkan masyarakat dalam suatu tempat sehingga terjalinkan tali silaturrahmi, mendoakan leluhur, doa selamat, memohon agar dapat menjalankan ibadah puasa ramadhan ke depan dengan baik, dan ada juga yang sedekah makanan”[3]
b. Makanan pada tradisi punggahan
Di Desa Batu Meranti dahulu tradisi Punggahan memiliki menu wajib yang harus dipenuhi, makanan-makanan tersebut memiliki arti tersendiri yang menggambarkan kearifan lokal budaya. Seperti pada pelaksanaan punggahan di Desa Batu Meranti sejak zaman dahulu yang terus dilaksanakan tiap tahunnya hingga saat ini, walaupun samakin lama perihal makanan ini mengalami perubahan. Berikut makanan yang selalu ada, dan memiliki makna:
1) Ketan
2) Apem
3) Pisang/Gedang
4) Makanan apa saja yang dibentuk kerucut (di sebut mancung)
“Sejak dahulu orang Jawa khususnya harus memiliki simbol agar lebih yakin pada apa yang sedang dijalani. Contohnya pada makanan yang sebenarnya ini perumpamaan agar ingat selalu dengan makna di dalamnya. Ketan, berasal dari bahasa Arab Khotto’an, artinya kita banyak salah dan lupa. Apem, apem berasal dari kata ‘affun, artinya ampunan. Pisang/Gedang, yang disebut ghoda’an artinya besok. Makanan apa saja yang dibentuk krucut (di sebut mancung) atau bisa juga pakai tumpeng, (mancung) berasal dari bahasa arab fashoum artinya maka puasalah. Dari keempat makanan tersebut disimpulkan, kita banyak salah dan lupa maka meminta ampun karena besok sudah mulai bulan puasa. Walaupun semakin ke sini masyarakat mengalami perubahan”.[4]
c. Motif dan Tujuan dilakasankan tradisi punggahan ramadhan di Desa Batu Meranti Kecamatan Sungai Loban Kabupaten Tanah Bumbu
Punggahan ramadhan di Desa Batu Meranti memiliki banyak motif dan tujuan sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala Desa Batu Meranti Kecamatan Sungai Loban Kabupaten Tanah Bumbu Bapak Nurdin. Beliau menuturkan sebagai berikut:
“…Tradisi punggahan di desa Batu Meranti dilaksanakan setiap tahunnya untuk menangkal pengaruh tidak baik dari luar, karena pelaksanaan di dalamnya terdapat do’a, berkumpul bersama untuk mempererat tali silaturrahmi dan meningkatkan kepekaan sosial, khususnya untuk generasi muda yang harus dibentengi dengan kegiatan sosial yang baik, yang nantinya akan menjadi penerus membangun Desa kami menjadi lebih baik lagi dan memiliki khas dan nilai sosial tinggi…”
Tradisi yang diyakini dapat memberikan dampak baik bagi sekitar adalah tradisi yang memiliki nilai-nilai positif di dalamnya seperti yang diungkapkan oleh Bapak Nurdin selaku Kepala Desa Batu Meranti. Kemudian peneliti juga mendapatkan jawaban serupa dari warga desa Batu Meranti Kecamatan Sungai Loban Kabupaten Tanah Bumbu yakni Agus yang berusia 25 tahun, ia menuturkan:
“Tujuan tradisi punggahan ini adalah menjadikan kita lebih rukun kepada tetangga, saling doakan, saling meminta maaf, kita semakin siap dengan ramadhan karena kan ada ceramah singkat dari ustadz, terus ingat dengan adanya ramadhan. Kemudian yang membuat tradisi ini tetap lestari adalah kesadaran, artinya kalau daerah-daerah yang tidak mementingkan lagi ya sudah tidak ada. Yang tua mengajak yang muda, yang masih kecil juga diajak, sehingga anak-anak juga akan mempunyai jiwa sosial walaupun mereka belum memahami makna sebenarnya apa itu punggahan”[5]
Dilanjutkan oleh Gunarto selaku masyarakat desa Batu Meranti yang pernah melaksanakan tradisi punggahan, juga menyampaikan sebagai berikut:
“Tradisi ini bagus sekali dilaksanakan, sebab orang-orang yang memiliki kesibukan dipekerjaan jadi jarang bertemu, kalau ada acara seperti ini bisa bertemu satu tempat, bisa bertukar pendapat tentang perkembangan desa apabila ada kekurangan dalam fasilitas, sekaligus jadi ajang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.”[6]
Punggahan memiliki tujuan untuk mempererat tali silaturrahmi masyarakat, sehingga masyarakat mengikuti kegiatan dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ustadz Ahmad Muhadi.
“memang sudah menjadi tradisi jadi walaupun zaman semakin modern maka harus tetap dilaksanakan. Walaupun saat pelaksanaan ada yang bermain handphone tapi kalau sudah bertemu dengan masyarakat maka akan ngobrol, bercanda dan mengikuti kegiatan dengan baik. Bahkan dengan adanya handphone dapat menyebarkan kegiatan yang kami laksanakan kepada masyarakat luas di media sosial. Kalau di Desa orang yang lagi ada acara pasti fokus buat ikut pelaksanaan acara tersebut. Karena kalau tidak, malah fokus bermain handphone akan ditegur oleh masyarakat yang lain”[7]
d. Proses Pelaksanaan tradisi punggahan Ramadhan di Desa Batu Meranti
Dari hasil wawancara peneliti terhadap Maksus Anwar Agus salah satu Tokoh Agama di Desa Batu Meranti, beliau menuturkan terkaitan pelaksanaan tradisi punggahan di Desa Batu Meranti. Berikut penuturannya:
“Proses pelaksanaan tradisi punggahan di Desa Batu Meranti dilakukan di Mushola/Masjid sebagai tempat berkumpul yang sangat strategis bagi masyarakat, ada juga yang melaksanakan di rumah warga. Pelaksanaannya setelah selesai ibadah sholat magrib, dimulai membaca tahlil, yasin, setelah itu berdoa bersama yang doanya dihadiahkan untuk para orang terdahulu yang sudah mendahului kita, melakukan ceramah agama sebentar, sholat isya dan dilanjutkan makan bersama, dari anak-anak sampai yang tua-tua”[8]
[1] Salim, Tokoh Agama Desa Batu Meranti, hasil wawancara (Minggu, 13 November 2022)
[2] Ahmad Muhadi, Tokoh Agama Desa Batu Meranti, hasil wawancara (Minggu, 13 November 2022)
[3] Syaiful Anwar Tokoh Agama Desa Batu Meranti, hasil wawancara (Minggu, 13 November 2022)
[4] Salim, Tokoh Agama Desa Batu Meranti, hasil wawancara (Minggu, 13 November 2022)
[5] Agus, Pemuda Desa Batu Meranti, hasil wawancara (Minggu, 15 November 2022)
[6] Gunarto, masyarakat Desa Batu Meranti, hasil wawancara (18 November 2022)
[7] Ahmad Muhadi, Tokoh Agama Desa Batu Meranti, hasil wawancara (Minggu, 13 November 2022)
[8] Maksus Anwar Agus, Tokoh Agama Desa Batu Meranti, hasil wawancara (Senin, 14 November 2022)
[1] M. Hariwijaya, Íslam Kejawen (Yogyakarta, Gelombang Pasang, 2006), 89.
[2] Aunur Rofiq, “Tradisi Jawa dalam Perspektif Pendidikan Islam”, 15, no. 2, (2019): 93-107, https://doi.org/10.54069/attaqwa.v15i2.13.
[3] Yuhana, “Tradisi Bulan Ramadhan Dan Kearifan Budaya Komunitas Jawa Di Desa Tanah Datar Kecamatan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu”, 3, no. 1 (Februari 2016): 1-15, https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/view/7966.
[4] Gesta Bayuadhy, Tradisi-tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa (Yogyakarta, Dipta:2015), 19.
[5] Moch Tolehah dan Muhammad Arfan Mu’ammar, “Islamic Education In The Globalization Era; Challenges, Opportunities, And Contribution Of Islamic Education In Indonesia”, Jurnal humanities dan Social Sciences Reviews, 7, no. 4, (2019):1031-1037, https://doi.org/10.18510/hssr.2019.74141.
Posting Komentar untuk "Tradisi Punggahan: Menyambut Ramadan dengan Syukur di Desa Batu Meranti, Kecamatan Sungai Loban"